Sosok yang sering menggunakan bahasa air mata,
ya wanita. Pada banyak kondisi dan situasi, ianya bisa tumpah ruah seolah tanpa
batas.
Kisah seorang pria, yang melalui perjalanan
misterius dan penuh kejutan.
Pertama melihat air mata, ketika upacara ijab
qabul berlangsung sakral. Entah mengapa, ada bintik-bintik bening merebak,
membasahi bulu-bulu lentik di kelopak mata gadis pilihannya.
Berpikir betapa rumit logikanya ketika istrinya
meneteskan air mata sambil memeluk bayi yang demam panas. Padahal obat penawar
baru saja usai diberikan.
Belum mampu menerjemahkan bahasa air mata secara
sempurna. Lagi-lagi mata istrinya sembab berlinang ketika kepalanya berlumuran
darah terjatuh dari sepeda motor, padahal rasanya biasa saja. Ditambah lagi
matanya berkaca-kaca saat melepas rindu setelah lama berpisah.
Puncaknya ia melihat, sang istri menangis
setelah melahirkan bayi yang telah lama dinanti kehadirannya. Susah payah ia
membujuk, tetap saja keras kepala dan terus menangis, hingga kemudian berhenti
sendiri.
Namun, ia dapati kejanggalan. Istrinya tak
meneteskan air mata ketika ia di PHK, saat tergusur dari kontrakan, dan dapur
yang mulai jarang berasap. Pun tak menangis ketika telah tiga tahun menikah,
belum selembar baju baru yang ia hadiahkan. Bahkan ketika sang istri terpaksa
ikut serta memeras keringat, menopang ekonomi keluarga yang timpang.
Alhasil, bukannya tambah paham tentang air mata,
justru membuatnya semakin bingung, heran bercampur takut. Ternyata sungguh rumit
menakar makna air mata wanita berdasarkan timbangan akal semata. Lagi-lagi ia
kecewa, ketika tak ditemukannya referensi, buku-buku atau hasil penelitian yang
mengkaji tentang tetesan bening dipelupuk mata itu.
Semula ia berasumsi, semua wanita menangis tanpa
alasan. Namun, teka-teki itu terjawab sepanjang kekayaan pengalaman yang
direguknya selama berumah tangga. Mulai ia pahami, hingga berasumsi sebenarnya
air mata wanita adalah air mata kehidupan.
Air mata kekuatan, saat melahirkan bayi dari
rahimnya. Sementara, angka kematian ibu terus menunjukkan grafik meningkat.
Air mata yang peka dan kasih, untuk mencintai
semua anak-anaknya dan keluarga. Dalam kondisi maupun situasi apapun, walau
letih, walau sakit, walau tak jarang ada keluh kesah. Padahal tak jarang orang-orang
yang dicintai menyakiti perasaannya, melukai hatinya.
Air mata ketabahan, atas kesederhanaan hidup
namun tak membuatnya minder pergaulan, apalagi sampai mengurangi husnudzan nya pada Allah.
Air mata ketegaran, saat rumah tangga melewati
masa-masa pancaroba, atau hampir karam oleh badai cobaan. Kegetiran malah
membentuk pribadinya yang tangguh.
Air mata kebijaksanaan, yang mampu memberi
pengertian agar tetap berdiri sejajar saling melengkapi dan memahami.
Tangisannya bukan karena kecengengan, tetapi
menunjukkan bagaimana ia mencurahkan perasaanya, bagaimana ia berpikir dengan
hati dan meraba dengan pikirannya.
Hingga akhir kisah seorang pria, ia telah
melihat hampir semua jenis air mata itu berkumpul pada sosok istri tercinta.
Air mata yang akan terus menjadi refleksi atas ke tawadhu’ an, qana’ah, dan istiqamah nya diri hingga menumbuhkan
ketulusan cinta yang luar biasa.
Pun ia berani menyatakan, “andai wanita tanpa air mata, maka dunia akan berduka cita”
(Yoli Hemdi, “Ukhti...Hatimu di Jendela Dunia”)
#Special for my mom, “malaikat yang punya surga di telapak kakinya”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar